Minggu, 05 Juli 2020

DAMPAK DARI UU POKOK AGRARIA


Melihat perkembangan sejarah UUPA No 5 tahun 1960 hingga masa kini banyak hal yang menjadi pertentangan dan menjadi konflik didalamnya. Kelahiran UUPA merupakan suatu tonggak sejarah hukum agraria yang secara normatif menempatkan petani pada suatu proses pemberdayaan untuk memperoleh suatu kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan terhadap sumber daya tanah. UUPA disini sebagai sebuah rekonstruksi suatu bangunan politik agraria yang bertujuan untuk menjamin hak-hak petani atas suatu tanah. Inilah yang seharusnya direnungkan oleh para elite penguasa kita ini di negara yang disebut sebagai suatu negara agraris, yang tugasnya untuk lebih mengedepankan makna kemerdekaan bagi rakyat tani, yakni kuatnya suatu hak atas tanah yang dimilikinya. Agrarian reform yang semula untuk menata penguasaan tanah, khususnya hak milik maka menjadi berhenti demi sebuah pembangunan tanpa mengedepankan hak-hak kepemilikan tanah dalam UUPA.
Di bidang perundang-undangan, dilahirkan suatu produk yang bertentangan dengan UUPA, sehingga muncul berbagai macam konflik agraria yang menempatkan petani di pihak yang selalu dikalahkan demi kepentinagn suatu pembangunan. Arah kebijakannya menjadi lebih berat ke politik pemerintahan, bukan pembangunan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan adanya intervensi kekuatan imperialisme dalam berbagai bentuk paket kebijakan Neo – liberalisme, bentuk kebijakan pemerintah indonesia pun telah melahirkan sekian banyak persoalan yang menyangkut hak – hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun hak sipil dan hak politik.
Di tengah ketimpangan demokrasi yang masih diatasnamakan oleh pemerintah untuk menindas rakyatnya. Produk-produk kebijakan yang dibuat, mengarah pada pengekangan hak-hak rakyat ketimbang menyejahterakan rakyat, terbukanya peluang pemodal sebagai alat penghisap telah dilegalisasikan negara untuk melakukan eksploitasi kekayaan sumber-sumber agraria yang ada, salah satunya adalah tanah. Semua ini telah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembentukan negara RI yang anti-penjajahan.
Namun, sampai saat ini, realitas dominasi pemerintah dan pemilik modal maupun intervensi asing masih saja menjajah negara Indonesia, dengan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai pelosok penjuru Indonesia. Sebaliknya, posisi petani semakin tidak terjamin hak hukumnya atas tanah apalagi dengan HGU (Hak Guna Usaha) yang mayoritas dimiliki pihak swasta yang masa waktunya sekitar 25-30 tahun, sehingga terjadi ketidakberdayaan petani. Petani dihadapkan pada masalah, yakni sebagai petani tidak berlahan atau berlahan sempit. Akibatnya, sepanjang berlakunya UUPA selalu ditemui adanya sengketa tanah beserta problem sosial yang mengikutinya, sehingga memicu pelanggaran hak-hak atas tanah petani.

Konsentrasi penguasaan tanah oleh perkebunan besar dan pengusaha swasta, menyebabkan tanah pertanian semakin menyempit. Adanya ketimpangan penguasaan aset tanah serta hilangnya potensi pemanfaatan dan pengelolaan dengan tidak diakuinya berbagai bukti-bukti kepemilikan dan penguasaan petani maupun komunitas lokal oleh penguasa, memunculkan berbagai permasalahan dan konflik yang tidak seimbang antara kekuatan petani dengan kekuasaan dan pemodal. Aset petani dalam wujud tanah, tanaman, tempat tinggal tidak pernah diganti sesuai dengan kelayakan kehidupan petani. Belum lagi, efek kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proses eksploitasi sumber daya alam yang berefek pada kerusakan ekosistem dan lingkungan.
Belum lagi tindakan represif dan intimidasi aparat keamanan dan kekuatan milisi sipil senantiasa memunculkan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sampai sekarang tidak pernah terselesaikan dalam perjuangan kaum tani dalam mempertahankan haknya atas tanah.. Represivitas/praktek kekerasan terhadap petani dan permasalahan kebijakan yang tidak berpihak terhadap petani sampai sekarang tetap dilakukan oleh Penguasa dengan menggunakan aparatus-aparatusnya, yang merupakan instrumen bagi negara. Hal ini menjadi pemikiran bagi kita semua apabila nantinya persoalan-persoalan pemaksaan kehendak penguasa ingin mengambil tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan yang legal dalam perpres No. 36 Tahun 2005. Tentunya, akan banyak memakan korban dipihak rakyat, khususnya petani yang menggantungkan hidup pada tanah sebagai lahan garapannya. 
UUPA sejak awal berlakunya sudah memuat visi dan membawa misi yang memberikan arahan awal dan mendasar, yaitu mewujudkan hubungan ideal tanah sejalan dengan prinsip "Land for the Thriller". Namun, hal itu tidak berumur lama karena kerumitan masalah ketimpangan struktur pemilikan tanah yang telah terjadi berabad-abad lalu belum sempat terselesaikan. Hal itu dapat dilihat adanya deviasi kebijakan pertanahan yang kemudian ditempuh rejim orde baru sejak tahun 1967 ditandai berlakunya UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga akhir 1998.
Fenomena yang sudah terjadi sejak tahun 1960 tersebut harus dilihat secara utuh dari bagian politik agraria nasional yang dijalankan rejim-rejim yang berkuasa. Fokus kajian yang dianggap sebagai alternatif jawaban terhadap permasalahan ini adalah adanya pelanggaran moral dan hukum dalam pelaksanaan politik pertanahan nasional. Landasan moral dan hukum pelaksanaan politik pertanahan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan ini memberikan perintah kepada negara sebagai badan penguasa atas tanah yang dimiliki bangsa Indonesia untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat
Pada tahun 1984, Indonesia pernah memperoleh penghargaan dari FAO atas kemampuan swasembada pangan sebagai sektor primer agraris. Tetapi apa daya, ternyata menjelang milenium ketiga, negara kita tiba-tiba menjadi negara pengimpor beras nomor satu di dunia. Hal itu terjadi akibat kondisi rawan pangan, kebakaran hutan, banjir, tumbuhnya kaum tuna kisma akibat mis-management karena penerapan bad-governance yang mengabaikan aspek moral dan hukum.
Untuk mengukur tingkat kebijakan yang diterapkan dalam bad governance itu, tentunya siginifikan ditujukan pada moralitas penyelenggara negara level nasional sebagai pembuat dan pengendali kebijakan tertinggi di republik ini. Semua unsur pelaksana kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) ikut andil dalam pelaksanaan bad governance dan mengabaikan moral dan hukum dalam mengatur dan melaksanakan politik pertanahan yang diperintahkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Corak atau struktur kekuasaan yang melaksanakan UUPA pada semua rejim sebenarnya berbeda. Namun, sama saja implementasi atas ketentuan UUPA yang bermuatan kerakyatan, demokrat, anti monopoli dan anti eksploitasi terhadap manusia. Visi UUPA sebenarnya telah diilhami berbagai doktrin berkaitan dengan dampak absolutisme akibat penguasaan dan pemilikkan tanah yang berlebihan. Di antara doktrin klasik yang paling mendasar adalah "Land is power" atau tanah adalah kekuasaan. UUPA secara sadar telah membuat batasan dan pedoman yang melarang konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah yang berdampingan erat dengan ideologi kemutlakan kekuasaan dan anti demokrasi.
Penyelewengan implementasi penegakan hukum terlihat pada tren yang menganut asas kepastian hukum yang mendominasi persepsi penegakan hukum dalam masalah agraria dan dijauhkan dari moralitas hukum yang tidak lain adalah moral itu sendiri. Gambaran suram, khususnya penegakan hukum, masih berjalan terus hingga pada saat munculnya arahan pembaharuan agraria melalui Ketetapan MPR-RI No.XI/MPR/2000. Pada tahap awal dan akhir dari pelaksanaan pembaharuan agraria, tidak lain adalah terkait dengan pembuatan instrumen hukum dan penegakan hukum di bidang agraria yang harus mampu menuju pada kedamaian yang di dalam substansi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dapat dipahami tujuan penguasaan tanah oleh negara adalah "& bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Kedamaian yang tercipta dari tercapainya keadilan tidak kunjung menghampiri negara kita tidak lain berawal dari prakondisi yang terjadi dalam hal ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah yang sebenarnya merupakan sasaran law enforcement atas berlakunya UUPA. Landasan moral yang seyogyanya harus menjadi pedoman pelaksanaan UUPA yang pembentukannya bersumber dari hukum adat adalah ciri masyarakat adat yang komunalistik religius. Menempatkan moral dan hukum sebagai satu bagian integral dalam pelaksanaan politik agraria dan tidak terpisah-pisah, sebagaimana dilakukan kaum sekuler, kapitalis adalah kunci menuju kedamaian. Hal mana masih dapat dilakukan dengan berpedoman pada moralitas dan acuan hukum penguasaan dan pemilikkan tanah di dalam UUPA, sambil terus melakukan pembangunan hukum tanah yang lebih baik untuk masa depan yang lebih baik (the peaceful future).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PETUAH

"Tidak lama kok. Yah, mungkin hanya beberapa hari saja setelah itu kamu bisa kembali melakukan lagi hal hal yang menjadi bagian dari hi...