Melihat
perkembangan sejarah UUPA No 5 tahun 1960 hingga masa kini banyak hal yang
menjadi pertentangan dan menjadi konflik didalamnya. Kelahiran UUPA merupakan
suatu tonggak sejarah hukum agraria yang secara normatif menempatkan petani
pada suatu proses pemberdayaan untuk memperoleh suatu kekuasaan, kekuatan, dan
kemampuan terhadap sumber daya tanah. UUPA disini sebagai sebuah rekonstruksi
suatu bangunan politik agraria yang bertujuan untuk menjamin hak-hak petani
atas suatu tanah. Inilah yang seharusnya direnungkan oleh para elite penguasa
kita ini di negara yang disebut sebagai suatu negara agraris, yang tugasnya
untuk lebih mengedepankan makna kemerdekaan bagi rakyat tani, yakni kuatnya
suatu hak atas tanah yang dimilikinya. Agrarian reform yang semula untuk menata
penguasaan tanah, khususnya hak milik maka menjadi berhenti demi sebuah
pembangunan tanpa mengedepankan hak-hak kepemilikan tanah dalam UUPA.
Di
bidang perundang-undangan, dilahirkan suatu produk yang bertentangan dengan
UUPA, sehingga muncul berbagai macam konflik agraria yang menempatkan petani di
pihak yang selalu dikalahkan demi kepentinagn suatu pembangunan. Arah
kebijakannya menjadi lebih berat ke politik pemerintahan, bukan pembangunan
pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan adanya intervensi
kekuatan imperialisme dalam berbagai bentuk paket kebijakan Neo – liberalisme,
bentuk kebijakan pemerintah indonesia pun telah melahirkan sekian banyak
persoalan yang menyangkut hak – hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun hak
sipil dan hak politik.
Di
tengah ketimpangan demokrasi yang masih diatasnamakan oleh pemerintah untuk
menindas rakyatnya. Produk-produk kebijakan yang dibuat, mengarah pada
pengekangan hak-hak rakyat ketimbang menyejahterakan rakyat, terbukanya peluang
pemodal sebagai alat penghisap telah dilegalisasikan negara untuk melakukan
eksploitasi kekayaan sumber-sumber agraria yang ada, salah satunya adalah
tanah. Semua ini telah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembentukan
negara RI yang anti-penjajahan.
Namun,
sampai saat ini, realitas dominasi pemerintah dan pemilik modal maupun
intervensi asing masih saja menjajah negara Indonesia, dengan berbagai bentuk
kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai pelosok penjuru Indonesia. Sebaliknya,
posisi petani semakin tidak terjamin hak hukumnya atas tanah apalagi dengan HGU
(Hak Guna Usaha) yang mayoritas dimiliki pihak swasta yang masa waktunya
sekitar 25-30 tahun, sehingga terjadi ketidakberdayaan petani. Petani
dihadapkan pada masalah, yakni sebagai petani tidak berlahan atau berlahan
sempit. Akibatnya, sepanjang berlakunya UUPA selalu ditemui adanya sengketa
tanah beserta problem sosial yang mengikutinya, sehingga memicu pelanggaran
hak-hak atas tanah petani.
Konsentrasi
penguasaan tanah oleh perkebunan besar dan pengusaha swasta, menyebabkan tanah
pertanian semakin menyempit. Adanya ketimpangan penguasaan aset tanah serta
hilangnya potensi pemanfaatan dan pengelolaan dengan tidak diakuinya berbagai
bukti-bukti kepemilikan dan penguasaan petani maupun komunitas lokal oleh
penguasa, memunculkan berbagai permasalahan dan konflik yang tidak seimbang
antara kekuatan petani dengan kekuasaan dan pemodal. Aset petani dalam wujud
tanah, tanaman, tempat tinggal tidak pernah diganti sesuai dengan kelayakan
kehidupan petani. Belum lagi, efek kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
proses eksploitasi sumber daya alam yang berefek pada kerusakan ekosistem dan
lingkungan.
Belum
lagi tindakan represif dan intimidasi aparat keamanan dan kekuatan milisi sipil
senantiasa memunculkan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
sampai sekarang tidak pernah terselesaikan dalam perjuangan kaum tani dalam
mempertahankan haknya atas tanah.. Represivitas/praktek kekerasan terhadap
petani dan permasalahan kebijakan yang tidak berpihak terhadap petani sampai
sekarang tetap dilakukan oleh Penguasa dengan menggunakan aparatus-aparatusnya,
yang merupakan instrumen bagi negara. Hal ini menjadi pemikiran bagi kita semua
apabila nantinya persoalan-persoalan pemaksaan kehendak penguasa ingin
mengambil tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan yang legal dalam perpres
No. 36 Tahun 2005. Tentunya, akan banyak memakan korban dipihak rakyat,
khususnya petani yang menggantungkan hidup pada tanah sebagai lahan garapannya.
UUPA
sejak awal berlakunya sudah memuat visi dan membawa misi yang memberikan arahan
awal dan mendasar, yaitu mewujudkan hubungan ideal tanah sejalan dengan prinsip
"Land for the Thriller". Namun, hal itu tidak berumur lama karena
kerumitan masalah ketimpangan struktur pemilikan tanah yang telah terjadi
berabad-abad lalu belum sempat terselesaikan. Hal itu dapat dilihat adanya
deviasi kebijakan pertanahan yang kemudian ditempuh rejim orde baru sejak tahun
1967 ditandai berlakunya UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga
akhir 1998.
Fenomena
yang sudah terjadi sejak tahun 1960 tersebut harus dilihat secara utuh dari
bagian politik agraria nasional yang dijalankan rejim-rejim yang berkuasa.
Fokus kajian yang dianggap sebagai alternatif jawaban terhadap permasalahan ini
adalah adanya pelanggaran moral dan hukum dalam pelaksanaan politik pertanahan
nasional. Landasan moral dan hukum pelaksanaan politik pertanahan dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan ini memberikan perintah kepada
negara sebagai badan penguasa atas tanah yang dimiliki bangsa Indonesia untuk
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat
Pada
tahun 1984, Indonesia pernah memperoleh penghargaan dari FAO atas kemampuan
swasembada pangan sebagai sektor primer agraris. Tetapi apa daya, ternyata
menjelang milenium ketiga, negara kita tiba-tiba menjadi negara pengimpor beras
nomor satu di dunia. Hal itu terjadi akibat kondisi rawan pangan, kebakaran
hutan, banjir, tumbuhnya kaum tuna kisma akibat mis-management karena penerapan
bad-governance yang mengabaikan aspek moral dan hukum.
Untuk
mengukur tingkat kebijakan yang diterapkan dalam bad governance itu, tentunya
siginifikan ditujukan pada moralitas penyelenggara negara level nasional
sebagai pembuat dan pengendali kebijakan tertinggi di republik ini. Semua unsur
pelaksana kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) ikut andil dalam
pelaksanaan bad governance dan mengabaikan moral dan hukum dalam mengatur dan
melaksanakan politik pertanahan yang diperintahkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Corak
atau struktur kekuasaan yang melaksanakan UUPA pada semua rejim sebenarnya
berbeda. Namun, sama saja implementasi atas ketentuan UUPA yang bermuatan
kerakyatan, demokrat, anti monopoli dan anti eksploitasi terhadap manusia. Visi
UUPA sebenarnya telah diilhami berbagai doktrin berkaitan dengan dampak
absolutisme akibat penguasaan dan pemilikkan tanah yang berlebihan. Di antara
doktrin klasik yang paling mendasar adalah "Land is power" atau tanah
adalah kekuasaan. UUPA secara sadar telah membuat batasan dan pedoman yang
melarang konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah yang berdampingan erat
dengan ideologi kemutlakan kekuasaan dan anti demokrasi.
Penyelewengan
implementasi penegakan hukum terlihat pada tren yang menganut asas kepastian
hukum yang mendominasi persepsi penegakan hukum dalam masalah agraria dan
dijauhkan dari moralitas hukum yang tidak lain adalah moral itu sendiri. Gambaran
suram, khususnya penegakan hukum, masih berjalan terus hingga pada saat
munculnya arahan pembaharuan agraria melalui Ketetapan MPR-RI No.XI/MPR/2000.
Pada tahap awal dan akhir dari pelaksanaan pembaharuan agraria, tidak lain
adalah terkait dengan pembuatan instrumen hukum dan penegakan hukum di bidang
agraria yang harus mampu menuju pada kedamaian yang di dalam substansi Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dapat dipahami tujuan penguasaan tanah oleh negara adalah
"& bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Kedamaian
yang tercipta dari tercapainya keadilan tidak kunjung menghampiri negara kita
tidak lain berawal dari prakondisi yang terjadi dalam hal ketimpangan pemilikan
dan penguasaan tanah yang sebenarnya merupakan sasaran law enforcement atas
berlakunya UUPA. Landasan moral yang seyogyanya harus menjadi pedoman
pelaksanaan UUPA yang pembentukannya bersumber dari hukum adat adalah ciri
masyarakat adat yang komunalistik religius. Menempatkan moral dan hukum
sebagai satu bagian integral dalam pelaksanaan politik agraria dan tidak
terpisah-pisah, sebagaimana dilakukan kaum sekuler, kapitalis adalah kunci
menuju kedamaian. Hal mana masih dapat dilakukan dengan berpedoman pada
moralitas dan acuan hukum penguasaan dan pemilikkan tanah di dalam UUPA, sambil
terus melakukan pembangunan hukum tanah yang lebih baik untuk masa depan yang
lebih baik (the peaceful future).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar