A. Latar belakang
Desa
sebagaimana konstitusi sebelumnya menggunakan norma yang ada dalam
Undang-undang (UU) No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan UU No 32 tahun
2004 adalah struktur pemerintahan terendah dibawah kabupaten. Desa menerima
tugas perbantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota. Sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem
pemerintahan kabupaten/kota maka kedudukan desa sebagai local state government.
Desa
tak lebih hanya sekedar menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah kabupaten,
pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat. Pemerintah Desa lebih banyak hanya
bertugas sebagai pelaksana pembangunan yang telah didesign oleh pemerintah
diatasnya. Mengerjakan proyek yang direncanakan meskipun seringkali kurang
bermanfaat bagi masyarakat desa. Sekarang ini regulasi tentang Desa telah
diatur khusus, terbitnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menegaskan desa
bukan lagi local state government tapi
desa sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid
antara self governing community dan local self government.
Paradigma
atau cara pandang yang dibangun antara Desa Lama dengan Desa Baru juga berbeda.
Desa lama mengunakan asas atau prinsip desentralisasi-residualitas, artinya desa
hanya menerima delegasi kewenangan dan urusan desa dari Pemerintah
Kabupaten/Kota. Desa hanya menerima sisa tanggung jawab termasuk anggaran dari
urusan yang berkaiatan dengan pengaturan desanya. Sementara, desa baru yang
diusung oleh UU Desa hadir dengan asas atau prinsip umum rekognisi-subsidiaritas.
Rekognisi merupakan pengakuan dan penghormatan terhadap Desa, sesuai dengan
semangat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18 B ayat 2 yang memberikan
pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya.
Makna
subsidiaritas menurut Sutoro Eko memiliki tiga makna antara lain; Pertama,
subsidiaritas adalah lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan
tentang kepentingan masyarakat setempat kepada desa. Kedua, negara bukan
menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan
kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa melalui
undang-undang. Ketiga, pemerintah tidak
melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa,
melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap desa. Pemerintah
mendorong, memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan tindakan desa
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.[1]
Dalam UU
No. 6 tahun 2014 tentang
Desa pada pasal 1 dijelaskan pengertian desa sebagi berikut:
“Desa adalah
desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.[2]
Sangat jelas, bahwa
desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan warganya dalam
segala aspek, baik dalam pelayanan (public
good), pengaturan (public regulation),
dan pemberdayaan masyarakat (empowerment).
Perananan pemerintah desa memang dirasa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakatnya, inovasi-inovasi baru serta perhatian pemerintah desa
pada sarana prasarana desa juga sangat diperlukan demi terwujudnya pembangunan
yang seutuhnya.
Desa sebagai salah
satu ujung tombak
organisasi pemerintah dalam mencapai
keberhasilan dari urusan pemerintahan
yang asalnya dari pemerintah pusat.
Perihal ini disebabkan
desa lebih dekat dengan masyarakat sehingga program dari pemerintah
lebih cepat tersampaikan.
Desa mempunyai peran untuk
mengurusi serta mengatur sesuai
dengan amanat UU No 6 Tahun 2014
tentang Desa yang
salah satu pasalnya dijelaskan
bahwa desa memiliki kewenangan dalam
bidang penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan dan pemberdayaan
desa.
Untuk menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan desa, aparat desa dihadapkan dengan tugas yang cukup
berat, mengingat desa sebagai ensitas yang berhadapan langsung dengan rakyat.
Pada saat ini, perananan Pemerintah Desa sangat diperlukan guna menunjang
segala bentuk kegiatan pembangunan. Berbagai bentuk perubahan sosial yang
terencana dengan nama pembangunan diperkenalkan dan dijalankan melalui
Pemerintah Desa. Untuk dapat menjalankan peranannya secara efektif dan efesien,
Pemerintah Desa perlu terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan kemajuan
masyarakat desa dan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, perubahan sosial
yang terjadi pada masyarakat desa karena adanya gerakan pembangunan desa perlu
diimbangi pula dengan pengembangan kapasitas pemerintahan desanya. Sehingga,
desa dan masyarakatnya tidak hanya sebatas sebagai objek pembangunan, tetapi
dapat memposisikan diri sebagai salah satu pelaku pembangunan.
Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan
wawasan dan pengetahuan bagi para penyelenggara pemerintahan desa merupakan
kegiatan yang semestinya menjadi prioritas utama. Sehingga pengembangan
wawasan, pengetahuan, sikap dan keterampilan para penyelenggara pemerintahan
senantiasa teraktualisasi seiring dengan
bergulirnya perubahan yang senantiasa terjadi.
Meningkatnya kualitas kapasitas Pemerintahan Desa melalui pengembangan kapasitas
Pemerintahan Desa akan memberikan peluang yang besar bagi terlaksananya segala
bentuk kegiatan pembangunan desa secara efektif dan efesien.
Sebagai konsekuensi
logis adanya kewenangan
dan tuntutan dari pelaksanaan otonomi
desa adalah tersedianya
dana yang cukup.
Sadu Wasistiono menyatakan
bahwa pembiayaan atau
keuangan merupakan faktor essensial
dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa, sebagaimana juga
pada penyelenggaraan otonomi
daerah. Sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa “autonomy“ indentik dengan “auto money“, maka untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri desa membutuhkan dana atau
biaya yang memadai
sebagai dukungan pelaksanaan
kewenangan yang dimilikinya.[3]
Dalam rangka mendukung
pelaksanaan kewenangan tersebut, dalam UU No 6 tahun 2014 desa diberikan
sumber-sumber pendapatan yang berasal dari tujuh sumber, yaitu:
a. Pendapatan
asli desa, terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi,
gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa;
b. Alokasi
APBN (Dana Desa);
c. Bagian
dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Kabupaten/kota, minimal sebesar
10% dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota;
d. Alokasi
Dana Desa, yaitu bagian dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota diluar
DAK (DAU dan DBH) sebesar 10%;
e. Bantuan
keuangan dari APBD provinsi/kabupaten/kota;
f. Hibah
dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. Lain-lain
pendapatan desa yang sah.[4]
Ketentuan pasal tersebut mengamanatkan kepada
Pemerintah Kabupaten untuk mengalokasikan dana perimbangan yang diterima
Kabupaten kepada Desa-desa yaitu dalam bentuk Aokasi Dana Desa (ADD) dengan
memperhatikan prinsip keadilan dan menjamin adanya pemerataan. ADD adalah
alokasi dana ke desa dengan perhitungan dari Dana Perimbangan yang diterima
oleh Kabupaten sebesar 10% setelah dikurangi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK).[5] Dasar hukum pengalokasian
Dana Perimbangan ke Desa sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Pasal 72 ayat (4), jika hal tersebut tidak dilaksanakan maka
sanksi tegas dinyatakan dalam Pasal 72 ayat (6),dimana Pemerintah
dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi Dana Perimbangan
setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43
Tahun 2014 yang telah direvisi menjadi PP No 47 tahun 2015 tentang peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 96 ayat
(3) pengalokasian ADD disalurkan dengan pertimbangan jumlah penduduk,
angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis.
Dalam kaitannya dengan
pemberian alokasi dana desa di Kabupaten Enrekang, Pemerintah Kabupaten telah
memberikan petunjuk teknis mengenai proses penyaluran dan jumlah pagu anggaran
setiap desa melalui Peraturan Bupati Nomor 296 Tahun 2015 perihal tata cara
pembagian dan penetapan besaran dana desa kabupaten Enrekang. Dalam peraturan tersebut pembagian Alokasi
Dana Desa Minimal (ADDM) dan Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP) telah
diformulasikan dengan jelas yaitu ADDM sebesar 90 % dan ADDP sebesar 10 % dengan bobot jumlah penduduk 25 %, angka
kemiskinan 35%, luas wilayah 10 % dan indeks kesulitan geografis sebesar 30%.[6] Pembagian dana tersebut
mengacu pada peraturan mentri keuangan (PMK) No 93 tahun 2015 tentang tata cara
pengalokasian, penggunaan, pemantauan dan evaluasi dana desa.
Tujuan pemberian Bantuan Langsung Alokasi Dana
Desa antara lain meliputi:
a.
Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan
pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai dengan
kewenangannya.
b.
Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif
sesuai dengan potensi yang dimiliki.
c.
Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha bagi masyarakat desa serta dalam rangka pengembangan
kegiatan sosial ekonomi masyarakat.
d.
Mendorong peningkatan partisipasi swadaya gotong royong
masyarakat.
Didalam pengelolaan ADD
di Kecamatan Buntu Batu Kabupaten Enrekang masih terdapat bebrapa permasalahan.
Pengelolaan yang dimaksud yaitu
keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa dalam hal ini
adalah ADD. Permasalahan yang ditemukan yaitu pada kemampuan pemerintah desa
dalam memberdayakan masyarkat pada penggunaan bantuan ADD. Pada proses
musyawarah penggunaan ADD, pemerintah desa tidak mengikutseratakan masyarakat
secara langsung sehingga penggunaan ADD tidak didasarkan pada aspirasi
masyarakat. Hal tersebut menunjukan
kurangnya komunikasi Pemrintah Desa dengan masayarkat setempat. Pada tahap
pembahasan rencana penggunaan ADD yang dihadirkan hanya orang-orang tertentu
saja sementara hasil dari pembahasan rencana penggunaan ADD tidak
diinformasikan kepada masyarakat secara umum sehingga masayrakat bahkan tidak
tahu bahwa desa mendapatkan bantuan dana yang besar dari pemerintah pusat yang
demikian berimplikasi pada partisipasi masyarakat yang cenderung apatis pada
kegiatan yang dilakukan oleh pengelola ADD.
Permasalahan yang lain
dijumpai pada kemampuan pemerintah desa dalam perencanaan penggunaan ADD pada
tahap pembuatan rencana kerja, pembuatan laporan penggunaan ADD sehingga dapat
membuat keterlambatan pencairan dana untuk tahap selanjutnya.
Dengan memperhatikan
kondisi lapangan serta dukungan informasi yang penulis dapatkan dari masyarakat
kecamatan Buntu Batu kabupaten Enrekang, maka untuk menyingkapi kenyataan tersebut penulis tertarik mengangkat permasalahan ini
ke dalam penelitian ilmiah. Adapun judul yang diangkat yaitu:
“Kemampuan Pemerintah
Desa dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kecamatan Buntu Batu
Kabupaten Enrekang”
B. Rumusan masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
pokok yang akan ditelaah dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan penelitian adalah :
1.
Bagaimana proses penetapan jumlah besaran Alokasi dana Desa
di Kecamatan Buntu Batu Kabupaten Enrekang?
2.
Bagaimana
3.
Bagaimana pengelolaan alokasi dana desa (ADD) di kecamatan
Buntu Batu kabupaten Enrekang?
4.
Faktor apa yang mempengaruhi pengelolaan alokasi dana desa di
kecamatan Buntu batu kabupaten Enrekang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
perumusan masalah sebagaimana yang telah dikemukakan penulis, maka dalam hal
ini yang menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian adalah untuk memberikan
gambaran mengenai kemampuan pemerintah dalam pengelolaan ADD di kecamatan Buntu
Batu Kabupaten Enrekang dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
pengelolaannya.
2.
Maanfaat
penelitian
Bertitik
tolak dari latar belakang masalah, masalah pokok, dan tujuan penelitian, adapun
yang menjadi manfaat dilakukannya penelitian ini terdiri atas dua manfaat yaitu
manfaat terhadap kepentingan akademik dan manfaat terhadap kepentingan dunia
praktis. Adapun manfaat tersebut adalah :
a. Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan
referensi dan acuan
pembelajaran bagi pihak-pihak
yang membutuhkan dalam penelitian ilmu pemerintahan atau pihak
lainnya maupun pengembangan konsep ilmu
pemerintahan khususnya yang berkaitan dengan kemampuan pemerintah desa dalam
pengelolaan alokasi dana desa.
b. Manfaat Dunia Praktis
Dari hasil penelitian ini
diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan input bagi Pemerintah Desa
diseluruh Desa di Kecamatan Buntu Batu Kabupaten Enrekang atau pihak lain yang
sedang dalam proses pembanguan desa.
D.
Tinjauan
Pustaka
1. Landasan Teori
Sebagai titik tolak
atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu
adanya pedoman teoritis yang dapat membantu.Untuk itu perlu disusun kerangka
teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana
masalah tersebut disoroti. Selanjutnya teori merupakan serangkaian asumsi,
konsep, konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena
sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.
Berdasarkan rumusan
diatas, maka penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan
dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.
a.
Konsep Desa
Secara etimologi
kata desa berasal
dari bahasa Sansekerta,
deca yang berarti tanah air,
tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari
perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country area, smaller
than a town”.
Desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam
pemerintahan nasional dan berada di
daerah kabupaten.
Desa
dalam pengertian umum adalah sebagai suatu gejala yang bersifat universal,
terdapat dimana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat
pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun
bagi pemenuhan kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung pada sektor
pertanian.
Pengertian Desa
secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian. Egon E. Bergel (1955:
121), mendefinisikan desa
sebagai “setiap pemukiman
para petani (peasants)”.
Sebenarnya, faktor pertanian bukanlah ciri yang harus melekat
pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada setiap desa adalah fungsinya
sebagai tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif
kecil. [7]
Sementara itu
Koentjaraningrat (1977) memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan
pengertian komunitas dalam dua
jenis, yaitu komunitas
besar (seperti: kota,
negara bagian, negara)
dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga dan sebagainya).
Dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil
yang menetap tetap di suatu tempat”.[8] Koentjaraningra tidak
memberikan penegasan bahwa komunitas desa
secara khusus tergantung
pada sektor pertanian.
Dengan kata lain
artinya bahwa masyarakat desa
sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri aktivitas
ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja.
Selanjutnya, menurut
Paul H. Landis, seorang sarjana
sosiologi perdesaan dari
Amerika Serikat,
mengemukakan definisi tentang
desa dengan cara
membuat tiga pemilahan
berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk tujuan analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya
kurang dari 2500 orang. Untuk tujuan
analisa sosial-psikologi, desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan
yang akrab dan serba informal diantara sesama
warganya. Sedangkan untuk
tujuan analisa ekonomi, desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada
pertanian[9]
Desa menurut
H.A.W. Widjaja dalam
bukunya yang berjudul
“Otonomi Desa” menyatakan bahwa:
“Desa
adalah sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan
hak asal-usul yang
bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam
mengenai Pemerintahan Desa
adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat.”[10]
Desa menurut
UU nomor 6
tahun 2014 tentang
Desa mengartikan Desa sebagai berikut :
“Desa adalah desa
dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”[11]
Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat
dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat. Pembentukan desa dapat berupa
penggabungan beberapa desa, atau bagian
desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau
lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Pembentukan desa
tidak semata-mata sesuai dengan keinginan peranangkat desa yang berwenang
mengatur keseluruhan kegiatan di desa, seperti halnya dengan pembentukan atau
pendirian organisasi baru, pembentukan desa pun harus memenuhi aturan-aturan
yang ada, berikut landasan hukum pembentukan desa adalah UU No 6 tahun 2014
tentang Desa dan diatur lebih lanjut dalam PP No 43 tahun 2014 yang telah
direvisi menjadi PP No 47 tahun 2015 tentang peraturan pelaksanaan UU No 6
tahun 2014.
Dalam UU No 6 Tahun 2014 pembetukan desa
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Batas usia
Desa induk paling
sedikit 5 (lima)
tahun terhitung sejak pembentukan;
b. Jumlah
penduduk sebagaimana diatur pada pasal 8 ayat (3) b;
c. Wilayah kerja
yang memiliki akses
transportasi antarwilayah;
d. Sosial
budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat
istiadat Desa;
e. Memiliki potensi
yang meliputi sumber
daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber
daya ekonomi pendukung;
f. Batas wilayah
Desa yang dinyatakan
dalam bentuk peta Desa
yang telah ditetapkan
dalam peraturan Bupati/Walikota;
g. Sarana dan
prasarana bagi Pemerintahan
Desa dan pelayanan publik; dantersedianya dana
operasional, penghasilan tetap,dan
tunjangan lainnya bagi
perangkat Pemerintah Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[12]
Selain landasan hukum yang menjadi latar belakang
pembentukan suatu desa, ada hal lain yang harus dilengkapi juga yaitu
unsur-unsur desa. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan unsur-unsur desa adalah
komponen-komponen pembentuk desa sebagai satuan ketatanegaraan. Komponen- komponen
tersebut adalah :
a. Wilayah
desa, merupakan wilayah yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan
b. Penduduk
atau masyarakat desa, yaitu mereka yang bertempat tinggal di desa selama
beberapa waktu secara berturut-turut.
c. Pemerintahan,
adalah suatu system tentang pemerintah sendiri dalam arti dipilih sendiri oleh
penduduk desa yang nantinya akan bertanggung jawab kepada rakyat desa.
d. Otonomi,
adalah sebagai pengatur dan pengurus rumah tangga sendiri.
Landasan dan unsur-unsur pemerintah desa
merupakan salah satu beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah desa
dalam penyelenggaraan pemerintahannya, keseluruhan yang tersebut di atas
merupakan aturan atau dasar ideal pelaksanaan pemerintahan desa. Otonomi daerah
yang diterapkan membantu pemerintah desa dalam melakukan improvisasi kinerja
dan program-program yang telah di tentukan bisa dijalankan dengan maksimal.
Otonomi tersebut memberi peranan seutuhnya pada pemerintah desa dalam mengatur
rumah tangga sendiri dengan tetap berpegang teguh pada kearifan local yang
dimiliki masyarakat tersebut, karena masyarakat adalah unsur yang paling
mendasar terciptanya desa yang merupakan pemerintahan yang paling terkecil.
Desa memiliki wewenang sesuai dengan yang
tertuang dalam UU No 6 tahun 2014 tentang desa:
a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan
yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan
lain yang ditugaskan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.[13]
b.
Pemerintahan Desa
Sebelum membahas
lebih lanjut tentang pemerintah desa, lebih baiknya kita mengetahui pengertian
pemerintah atau pemerintahan itu sendiri. Pemerintahan adalah proses, cara,
perbuatan memerintah yang berdasarkan demokrasi, gubernur memegang tampuk
didaerah tingkat I, segala urusan yang dilakukan oleh Negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan Negara.[14]
Pemerintah Desa
merupakan bagian dari
pemerintah nasional, yang penyelenggaraanya ditujukan kepada desa.
Penerintahan desa adalah suatu proses
dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha
pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pemerintah desa berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dimakani sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai
pemerintah desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.[15]
Dalam
konteks UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemerintah desa adalah kepala desa
yang dibantu oleh perangkat desa lainnya dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
dalam menjalankan tugasnya. Pada pasal 26 ayat (2) menyatakan, bahwa Dalam melaksanakan
tugas Kepala Desa berwenang:
a.
memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.
mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c.
memegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d.
menetapkan Peraturan Desa;
e.
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f.
membina kehidupan masyarakat Desa;
g.
membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h.
membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta
mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i.
mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j.
mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k.
mengembangkan kehidupan
sosial budaya masyarakat Desa;
l.
memanfaatkan teknologi tepat guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara
partisipatif;
n.
mewakili Desa didalam dan diluar pengadilan atau menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
o.
melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[16]
Berdasarkan kewenangan yang
dimiliki oleh kepala desa, maka secara hukum memiliki tanggung jawab yang
besar, oleh karena itu untuk efektif harus ada pendelegasian kewenangan kepada
para pembantunya atau memberikan mandat. Oleh karena itu dalam melaksanakan
kewenangan Kepala Desa diberikan sebagaimana ditegaskan pada pasal 26 ayat (3)
UU No 6 Tahun 2014, yaitu : Dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak:
a.
mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b.
mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c.
menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan
lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d.
mendapatkan pelindungan
hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
Patut disadari, bahwa disamping kewenangan dan hak yang
dimiliki Kepala Desa memiliki kewajiban yang ditegaskan dalam UU No 6 Tahun
2014 pada pasal 26 ayat (4) Dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berkewajiban:
a.
memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan
dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika;
b.
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c.
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d.
menaati dan menegakkan peraturan
perundang-undangan;
e.
melaksanakan kehidupan
demokrasi dan berkeadilan gender;
f.
melaksanakan prinsip tata Pemerintahan
Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih,
serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g.
menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku
kepentingan di Desa;
h.
menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i.
mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j.
melaksanakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Desa;
k.
menyelesaikan perselisihan
masyarakat di Desa;
l.
mengembangkan perekonomian
masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya
masyarakat Desa;
n.
memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o.
mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan
hidup; dan
c.
Alokasi Dana Desa
Melalui UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, setiap
desa diberikan keleluasaan untuk mengatur kewenangannya sendiri, baik
kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, dan
kewenangan yang ditugaskan pemerintah pusat/ provinsi/ kab./kota sesuai
ketentuan perundang-undangan.
Dalam UU No. 6 Tahun 2014 Alokasi Dana Desa yang dikenal dengan
ADD adalah alokasi dana ke desa dengan perhitungan dari Dana Perimbangan yang
diterima oleh Kabupaten sebesar 10% setelah dikurangi dengan Dana Alokasi
Khusus (DAK). ADD dibagi kepada setiap Desa dengan mempertimbangkan:
(1) kebutuhan penghasilan tetap
kepala Desa dan perangkat Desa, (2) jumlah penduduk
Desa, angka kemiskinan
Desa, luas wilayah Desa, dan tingkat
kesulitan geografis Desa.[19]
ADD adalah dana yang cukup signifikan bagi
Desa untuk menunjang program-program
Desa. Pengelolaan keuangan
baik dari anggaran
sampai realisasi harus melibatkan tokoh-tokoh
masyarakat dan aparat
Pemerintah Daerah. Kendala-kendala yang dihadapi
oleh Pemerintah Daerah
baik Pemerintah desa
dan Pemerintah Kecamatan
adalah kurangnya pengendalian terhadap pengelolaan Dana yang berasal
dari ADD, Hal ini disebabkan karena
minimnya sumber daya
yang ada dan
kontrol dari Pemerintah
dan Masyarakat. Untuk itu perlu
diketahui sejauh mana efektifitas pengelolaan ADD dan sejauh
mana peran dari
ADD dalam program
Desa sehingga tujuan Pemerintah
mengalokasikan Dana Pemerintah
Pusat dan Daerah
bisa membantu program Desa dan
tujuan Pemerintah terwujud.
Tujuan
pemberian Bantuan Langsung Alokasi Dana Desa antara lain meliputi:
a.
Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan
pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai dengan
kewenangannya.
b.
Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif
sesuai dengan potensi yang dimiliki.
c.
Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha bagi masyarakat desa serta dalam rangka pengembangan
kegiatan sosial ekonomi masyarakat.
2. Kerangka konsep
Bagan
I
Kerangka
Konsep Penelitian
E.
METODE PENELITIAN
1.
Lokasi
Penelitian
Adapun Lokasi yang ditentukan penulis
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian
terhadap kemampuan pemerintah desa dalam pengelolaan alokasi dana desa yaitu di
Kecamatan Buntu Batu Kabupaten Enrekang yang meliputi delapan desa yaitu Desa
Pasui, Desa Langda, Desa Ledan, Desa Lunjen, Desa Buntu Mondong, Desa
Latimojong, Desa Potokkullin, Desa Eran Batu.
2. Pendekatan Penelitian
Agar pendekatan ini lebih terarah
sesuai dengan tujuan yang diinginkan, pendekatan penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kualtitatif yaitu metode
penelitian yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap
suatu masalah dari pada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi.
Metode penelitian ini menggunakan teknik analisis mendalam yaitu mengkaji
masalah secara kasus perkasus karena metodologi kulitatif yakin bahwa sifat
suatu masalah satu akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya.
3.
Tipe Penelitian
Tipe
penelitian yang digunakan
adalah tipe deskriptif
kualitatif yang bertujuan untuk
memberikan gambaran secara
mendalam terkait dengan masalah yang diteliti.
4.
Metode Pengumpulan Data
Teknik penelitian yang digunakan
dalam pengumpulan data adalah :
a.
Wawancara
yaitu
dengan melakukan tanya
jawab secara langsung
secara lisan dan tulisan kepada
Informan yang dianggap memahami
permasalahan yang diteliti. Adapun yang menjadi informan
dalam penelitian ini adalah:
a) Pemerintah
desa (kepala desa) didelapan desa di kecamatan Buntu Batu kabupaten Enrekang.
b) Perangkat
desa yang diberikan kekuasan oleh kepala desa dalam pengelolaan keuangan desa
didelapan desa di kecamatan Buntu Batu kabupaten Enrekang.
c) Warga
setempat yang dianggap memahami
permasalahan yang diteliti oleh penulis.
b.
Penelitian lapangan (field
research)
Penelitian dilakukan dengan meneliti secara langsung
ke instansi untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian.
c.
Penelitian kepustakaan (library
research)
Penelitian ini dilakukan mengumpulkan data serta
mempelajari litearatur-literatur yang ada berupa karya ilmiah, buku-buku, atau
kepustakaan lain yang berhubungan erat dengan masalah yang berkaitan dengan
penelitian ini.
5.
Jenis
dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data Kualtitatif.
Sedangkan sumber data yang digunakan yaitu:
a. Data
primer
Data primer adalah data dalam
bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan,gerak-gerik atau
perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adalah
subjek penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti.
b. Data
skunder
Data sekunder yang penulis maksudkan disini adalah data yang
diperoleh dari dokumen-dokumen grafis (tabel, catatan, notulen rapat, dll),
foto-foto, film, rekaman video, benda-benda, dan lain-lain yang dapat
memperkaya data primer.
6.
Defenisi Operasional
Konsep adalah “abtraksi yang dibentuk
menggeneralisasikan hal-hal yang berisfat khusus. Kerangka konsep merupakan
defenisi untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial ataupun
alami.”
Untuk itu ada beberapa konsep yang
diangkat dalam penelitian ini, yaitu:
a.
Alokasi Dana Desa
yang kemudian disebut ADD
adalah dana responsivitas
Negara untuk membiayai kewenangan desa dan memperkuat
kemandirian desa. Kewenangan desa mencakup
: (a) kewenangan
asal usul (mengelola
sumberdaya alam, peradilan adat,
membentuk susunan asli,
melestarikan pranata lokal) yang diakui (rekognisi) oleh Negara;
(b) kewenangan atributif organisasi lokal
(perencanaan, tata ruang,
ekologi, pemukiman, membentuk organisasi lokal
dan lain-lain) yang
ditetapkan oleh pemerintah
melalui undang-undang; (c) kewenangan delegatif-administratif yang timbul
dari delegasi atau tugas pembantuan dari pemerintah.
b.
Pemerintah desa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dimakani sebagai
kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah
yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau
dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan
mengenai pemerintah desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan dalam UU No 6 Tahun 2014
tentang desa, Pemerintah Desa adalah
Kepala Desa atau
yang disebut dengan nama
lain dibantu perangkat
Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
c.
Kemampuan Pemerintah desa
yang dimaksudkan yaitu kemampuan dalam pengelolaan Alokasi dana Desa (ADD) yang
meliputi perencanaan , pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggung jawaban keuangan desa.
1.
Perencanaan dalam penelitian ini meliputi seluruh kegiatan
yang dilakukan dalam tahapan perencanaan seperti pembuatan rencana kegitan.
2.
Pelaksanaan yang dimaksud yaitu kegiatan pada tahap pemanfaatan
ADD.
3.
Penatausahan yang dimaksud yaitu
4.
Pertanggungjawaban dalam penelitian ini adalah tahap akhir
dari penggunaan ADD untuk melihat bagaimana hasil daripada proses pengelolaan
ADD.
7. Teknik
Analisis Data
Dalam proses analisis data penulis
berpedoman pada teori teknik analisis data kualitatif yang disebutkan oleh
miles dkk (1992) yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan.
Proses analisis
data dimulai dengan
menelaah seluruh data
yang ada dari berbagai sumber
melalui proses observasi secara langsung dan wawancara secara mendalam
serta sudah dituliskan
dalam catatan lapangan,
dokumen, dan sebagainya. Data
yang telah dipelajari
dan ditelaah, selanjutnya
direduksi dengan membuat abstraksi.
Selanjutnya data dikategorisasikan berdasarkan
beberapa tema sesuai dengan fokus penelitian
[1] Mochammad Zaini Mustakin, kepemimpinan
Desa, hal. 10
[2] UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, Pasal 1.
[3] Sadu Wisanto,penyelenggaraan
Otonomi Desa, 2006, hal.107
[4] UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 72 (1)
[5] UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 72 (4)
[6] Perbub Kabupaten Enrekang No 296 tahun 2015 tentang pembagian dan
penetapan besaran dana desa Kabupaten Enrekang
[7] Egon E. Bergel, Sosiologi
Pedesaan, hal. 121
[8] Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, hal.162
[9] Paul H. Landis, Pengantar
Sosiologi Desa dan pertanian,hal.12-13
[10] HAW Widjaja,Otonomi Desa,
raja grafindo 2012, hal.3
[11] UU No 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 1
[12] UU NO 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 8
[13] UU NO 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 18
[14] Inu Kencana Syafi’I, Etika Pemerintahan, (Jakarta : Rineka
Cipta,1994), hal. 97
[15] UU No 32 Tahun 2004 Tenatng pemerintahan Daerah
[16] UU No 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 26 (2)
[17] UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 26 (3)
[18] UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 26 (4)
[19] UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar