Minggu, 05 Juli 2020

HAK ULAYAT



A.    Pengertian Hak Ulayat.
Hak ulayat dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat itu “menurut kenyataan masih ada”.
Sedangkan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Menurut UU No 21 Tahun 2001, Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Fungsi dari hak ulayat dapat dibedakan menjadi dua garis besar, yaitu :
a.    Persona
b.   Publik
Persona adalah hak ulayat yang dimaksud sebagai hak tanah komunal itu berfungsi untuk memberinya manfaat dari tanah, hutan, air, dan isinya kepada individu yang tergabung kedalam hak ulayat tersebut. Ia dapat mengelola tanah itu, menjadikannya sebagai mata pencarian (Berkebun atau bertani).
Publik adalah hak ulayat yang dimaksudkan sebagai hak atas tanah komunal yang berfungsi sebagai pengendali sosial, keakraban, serta kekeluargaan. Maksudnya, mereka yang tergabung kedalam hak ulayat tentu akan berinteraksi antar sesama anggota, interaksi tersebut tentu didasari pada hukum adat yang tidak tertulis, selanjutnya, mereka akan senantiasa berpikir dan bertindak sesuai dengan peraturan yang mengikat antar anggota tersebut
Hak ulayat ini meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah di haki oleh seseorang maupun yang belum. Pada umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat ditentukan secara pasti.
Hak Ulayat menunjukan adanya hubungan hukum antara masyarakat hukum sebagai subyek hak dan tanah wilayah tertentu sebagai objek hak.  Adapun Hak Ulayat berisi wewenang untuk :
a.       Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemikiman, bercocok tanam) persediaan (pembuatan pemukiman / persawahan baru) dan pemeliharaan tanah. 
b.      Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada objek tertentu). 
c.       Menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan).
Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya adalah hubungan menguasai. Dimana Kepala adat mempunyai peranan dalam penyelesaian sengketa tanah Ulayat bukan hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara dikenal dengan hak menguasai dari Negara, disini Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi mengatur,menentukan dan menyelenggarakan penggunaan tanah diwilayah itu. Sementara itu Boedi Harsono, mengemukakan bahwa hak dan kewajiban hak Ulayat masyarakat hukum adat mengandung dua unsur yaitu :
a.       Mengandung hak kepunyaan bersama para anggota warganya, yang termasuk bidang hukum perdata. 
b.       Mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaannya yang termasuk bidang hukum publik.

Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu, pertama unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
Ketiga unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. 

B.     Dasar Hukum Hak Ulayat.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikeal sebagai hal ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.
Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.

C.    Kedudukan Hak Ulayat
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).
Menurut UUPA mengakui adanya hak ulayat sebagaimana Pasal 3 UUPA. Pengakuan terhadap tanah merupakan suatu hal yang memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
Bentuk perlindungan hukumnya bila diperlukan untuk kepentingan umum sebagaimana Padal 18 UUPA, maka masyarakat pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan Pasal 14 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh pemegang hak ulayat atas tanah tersebut

D.    Eksistensi  Hak  Ulayat  Dalam  Hukum Positif Indonesia
Gerakan  reformasi  yang  di  mulai  pada  tahun  1998  tidak  hanya  menghadirkan  suatu kebaruan dalam bernegara dan bermasyarakat di  Indonesia,  tetapi  juga  menghidupkan kembali  perdebatan  lama  ke  dalam  masa transisi.  Konsep  tentang  hubungan  negara dengan  sumberdaya  alam,  atau  hak masyarakat  atas  sumberdaya  alam  menguat pada  tahap  pewacanaan  dan  gerakan.  Paket empat  kali  amandemen  UUD  1945  (1999-2002)  menjadi  ruang  dimana  pertarungan  ide berlangsung.  Setidaknya  ada  dua  komponen yang  berkaitan dengan  relasi  antara masyarakat  adat  dengan  sumberdaya  alam (hak ulayat) serta relasi antara negara dengan sumberdaya  alam,  yang  mesti  dilihat  sebagai suatu  keterkaitan.  Keterkaitan  itu  beranjak dari  asumsi  bahwa  “hak”  merupakan  tema yang bersifat formal, relasional dan diskretif.
Pengakuan  terhadap  masyarakat  hukum  adat  dan  hak-haknya  dinyatakan  dalam  pasal 18B ayat 2 (amandemen kedua) menyebutkan bahwa  “Negara  mengakui  dan  menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat  hukum  adat serta  hak-hak  tradisionalnya  sepanjang  masih hidup  dan  sesuai  dengan  perkembangan masyarakat  dan  prinsip  Negara  Kesatuan Republik  Indonesia,  yang  diatur  dalam Undang-undang”.  Dan  juga  pada  pasal  28i ayat  3  (amandemen  kedua)  menyebutkan bahwa  “Identitas  budaya  dan  hak  masyarakat tradisional  dihormati  selaras  dengan perkembangan zaman dan peradaban”.Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat  dalam  Konstitusi  di  Indonesia ditemukan  sebagai  hasil  amandemen  kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyebutkan :
a.      Negara  mengakui  dan  menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat  khusus  atau  bersifat  istimewa yang diatur dengan undang-undang.
b.      Negara  mengakui  dan  menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat  hukum adat  beserta  hak-hak  tradisionalnya sepanjang  masih  hidup  dan  sesuai dengan  perkembangan  masyarakat  dan prinsip  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia,  yang  diatur  dalam  undangundang.
Maria  S.W.  Sumardjono  menyebutkan bahwa  eksistensi  hak  ulayat  dalam  hukum positif  Indonesia  dapat  dilihat  dalam peraturan-peraturan  perundangan  yang diterbitkan. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan  Lingkungan Hidup,  Undang-undang  Nomor  22  tentang Tenaga  Listrik,  Undang-undang  Nomor  21 tentang  Otonomi  Khusus  Papua,  Undangundang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya  Air,  Undang-undang  Nomor  18  Tahun 2004  tentang  Perkebunan,  Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undangundang   Nomor  31  Tahun  2004  tentang Perikanan,  dan  Undang-undang  Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PETUAH

"Tidak lama kok. Yah, mungkin hanya beberapa hari saja setelah itu kamu bisa kembali melakukan lagi hal hal yang menjadi bagian dari hi...