A.
Pengertian Hak Ulayat.
Hak ulayat dapat kita lihat pada
Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa “hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat
dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat
itu “menurut kenyataan masih ada”.
Sedangkan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang
menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat
dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal
dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai
daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi
atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam
lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah
kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama
adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai
berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia
suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta
lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah
unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur
peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam
hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang
bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah
masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada
kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan
(genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang
bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila
ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut
adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia
bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam
melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Menurut
UU No 21 Tahun 2001, Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah,
hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Fungsi
dari hak ulayat dapat dibedakan menjadi dua garis besar, yaitu :
a. Persona
b. Publik
Persona adalah hak ulayat yang dimaksud sebagai hak
tanah komunal itu berfungsi untuk memberinya manfaat dari tanah, hutan, air,
dan isinya kepada individu yang tergabung kedalam hak ulayat tersebut. Ia dapat
mengelola tanah itu, menjadikannya sebagai mata pencarian (Berkebun atau
bertani).
Publik adalah hak ulayat yang dimaksudkan sebagai hak
atas tanah komunal yang berfungsi sebagai pengendali sosial, keakraban, serta
kekeluargaan. Maksudnya, mereka yang tergabung kedalam hak ulayat tentu akan
berinteraksi antar sesama anggota, interaksi tersebut tentu didasari pada hukum
adat yang tidak tertulis, selanjutnya, mereka akan senantiasa berpikir dan
bertindak sesuai dengan peraturan yang mengikat antar anggota tersebut
Hak ulayat
ini meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum
yang bersangkutan, baik yang sudah di haki oleh seseorang maupun yang belum.
Pada umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat
ditentukan secara pasti.
Hak Ulayat
menunjukan adanya hubungan hukum antara masyarakat hukum sebagai subyek hak dan
tanah wilayah tertentu sebagai objek hak. Adapun Hak Ulayat berisi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan
penggunaan tanah (untuk pemikiman, bercocok tanam) persediaan (pembuatan
pemukiman / persawahan baru) dan pemeliharaan tanah.
b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum
antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada objek
tertentu).
c. Menetapkan hubungan hukum antara
orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual
beli, warisan).
Hubungan
antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya adalah hubungan menguasai.
Dimana Kepala adat mempunyai peranan dalam penyelesaian sengketa tanah Ulayat
bukan hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara
dan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Negara dikenal dengan hak menguasai dari Negara, disini Negara sebagai
organisasi kekuasaan tertinggi mengatur,menentukan dan menyelenggarakan
penggunaan tanah diwilayah itu. Sementara itu Boedi Harsono, mengemukakan bahwa
hak dan kewajiban hak Ulayat masyarakat hukum adat mengandung dua unsur yaitu :
a.
Mengandung hak kepunyaan bersama para anggota warganya, yang
termasuk bidang hukum perdata.
b.
Mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan, pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaannya yang termasuk bidang
hukum publik.
Mengenai kriteria dan penentuan masih
adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya
hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu, pertama unsur masyarakat adat, yaitu
terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui
dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Kedua unsur wilayah, yaitu
terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari, dan.
Ketiga unsur hubungan antara
masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat
menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih
berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
B. Dasar
Hukum Hak Ulayat.
Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut
tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih
lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia
dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Mengenai
bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa
seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti
bahwa di Indonesia, pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu
pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai
dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain serta badan-badan hukum.
Setelah
Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat
pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal
sistem penguasaan suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikeal
sebagai hal ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian
hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan
pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga
terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh
mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.
Apabila
ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan
pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat
peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam
bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di
dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut
sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan
kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan
tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan
tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan
merupakan pula temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan
dan roh para leluhur persekutuan.
Dengan
demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan
tentang adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak
ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang
Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.
C. Kedudukan
Hak Ulayat
Pada
dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi
pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi”
dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang
menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana
hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan
tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai
berikut: “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3)
disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada
kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh
sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan
anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu,
dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap
yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan
asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam
UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi
juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat
berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya
hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi
kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan
(uraian 85 dan 106 E).
Menurut
UUPA mengakui adanya hak ulayat sebagaimana Pasal 3 UUPA. Pengakuan terhadap
tanah merupakan suatu hal yang memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud
oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi yaitu
hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban
sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
Bentuk
perlindungan hukumnya bila diperlukan untuk kepentingan umum sebagaimana Padal
18 UUPA, maka masyarakat pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa
pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi rakyat
setempat sesuai dengan Pasal 14 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah
oleh Perpres No. 65 Tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh
pemegang hak ulayat atas tanah tersebut
D.
Eksistensi Hak
Ulayat Dalam Hukum Positif Indonesia
Gerakan reformasi
yang di mulai
pada tahun 1998
tidak hanya menghadirkan
suatu kebaruan dalam bernegara dan bermasyarakat di Indonesia,
tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan
lama ke dalam
masa transisi. Konsep tentang
hubungan negara dengan sumberdaya
alam, atau hak masyarakat atas
sumberdaya alam menguat pada
tahap pewacanaan dan
gerakan. Paket empat kali
amandemen UUD 1945
(1999-2002) menjadi ruang
dimana pertarungan ide berlangsung. Setidaknya
ada dua komponen yang
berkaitan dengan relasi antara masyarakat adat
dengan sumberdaya alam (hak ulayat) serta relasi antara negara
dengan sumberdaya alam, yang
mesti dilihat sebagai suatu
keterkaitan. Keterkaitan itu
beranjak dari asumsi bahwa
“hak” merupakan tema yang bersifat formal, relasional dan
diskretif.
Pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat
dan hak-haknya dinyatakan
dalam pasal 18B ayat 2 (amandemen
kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui
dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam Undang-undang”. Dan
juga pada pasal
28i ayat 3 (amandemen
kedua) menyebutkan bahwa “Identitas
budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”.Kemajuan terpenting dari
pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi
di Indonesia ditemukan sebagai
hasil amandemen kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2
UUD 1945 menyebutkan :
a. Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang.
b.
Negara mengakui
dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undangundang.
Maria S.W. Sumardjono
menyebutkan bahwa eksistensi hak
ulayat dalam hukum positif
Indonesia dapat dilihat
dalam peraturan-peraturan
perundangan yang diterbitkan.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang
Nomor 22 tentang Tenaga Listrik,
Undang-undang Nomor 21 tentang
Otonomi Khusus Papua,
Undangundang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
Undang-undang Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan,
Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undangundang Nomor
31 Tahun 2004
tentang Perikanan, dan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar